ahmad hudori. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Berburu Karomah Cinta


 Betapa banyak orang, baik rakyat ataupun pejabat, mereka telah menjadi budak-budak cinta



“Hidup tanpa cinta

Bagai taman tak berbunga

Begitulah kata para pujangga”



Hidayatullah.com--Demikianlah sya'ir lagu yang dibawakan oleh 'Bung' Haji Roma Irama, yang menggambarkan akan kehampaan dunia, tanpa dihiasi cinta. Cinta adalah anugerah yang diberikan oleh Allah kepada anak manusia, bahkan -bagi orang mukmin- keberadaannya telah menjadi syarat akan keimanan mereka, “Tidak beriman diantara kalian, hingga kalian mencintai saudara kalian, sebagaimana kalian mencintai diri kalian sendiri”, demikianlah penegasan Rosulullah, akan anjuran kepada kaum muslimin untuk menyebar luaskan cinta antar sesama, khususnya, terhadap saudara seiman.



Cinta adalah sebuah legenda yang tidak pernah habis untuk dibahas. Ia datang dan pergi tanpa harus permisi. Tiba-tiba ia hinggap di hati, dan bisa jadi, sekejab kemudian ia menghilang. Itulah cinta, penuh dengan dinamika.



Bagi mereka yang sedang dimabuk cinta, maka, mereka akan mengorbankan apapun yang dimiliki, demi mewujudkan apa yang dicintai. Bukan cinta namanya, kalau seseorang tidak mau berkorban untuk menggapai apa yang dicintainya, karena memang cinta identik dengan pengorbanan.



Nah, di sini lah kita harus mewas diri terhadap cinta, sebab, kalau kita lengah, harga diri kita akan tergilas olehnya, bahkan, akhirat kita juga akan menjadi taruhannya. Apa sekejam itu cinta? Yaa, tapi tetap tergantung kepada siapa yang mengendalikannya.



Para Budak Cinta



Kalau diumpamakan, cinta itu bagaikan pisau bermata dua. Satu sisi ia bisa menjadi inspirasi yang mampu melejitkan diri. Dan di sisi yang lain, ia bisa menjelma menjadi sosok yang akan menghancurakan kita sendiri. Dan hal tersebut akan terjadi, apa bila kita memposisikannya (cinta), laksana seorang raja yang harus diatati titahnya, tanpa harus mempedulikan batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh Sang-Penganugerah cinta, Allah.



Sepertinya, hal inilah yang sedang terjadi di tengah-tengah kehidupan kita saat ini. Betapa banyak orang, baik itu rakyat ataupun pejabat, mereka telah menjadi budak-budak cinta. Rasa malu sepertinya telah sirna, karena kerakusan mereka di dalam memenuhi hajat cinta.



Perhatikanlah, kasus perzinaan, sepertinya telah menjadi berita biasa, karena hampir setiap saat kita disugukan dengan pemberitaan-pemberitaan yang memilukan tersebut. Atas dasar suka sama suka, dengan 'lapang dada' mereka melakukan perbuatan keji, yang dimurkai Allah tersebut.



Ini masih dalam konteks, sama-sama 'ridha', belum lagi kasus pelecehan seksual, pemerkosaan, dan lain sebagainya.



Kasus korupsi, yang didasari oleh cinta terhadap harta yang berlebihan, telah menyebabkan negeri ini menjadi salah satu negeri terkorup di dunia. Ratusan ribu anak putus sekolah, mati karena kelapara, disebabkan asupan uang yang harusnya mengalir ke tangan mereka, justru tersendat di kantong-kantong para koruptor. Ironinya, 'budaya' korupsi ini tidak hanya melanda kolongan elit, namun, mereka yang masih duduk di kelas 'teri' pun tak mau ketinggalan.



Cinta yang brutal macam inilah, yang benar-benar akan menggiring pemiliknya, selangkah demi selangkah menuju gerbang kehancuran di dunia lebih-lebih di akhirat kelak.



Islam sebagai agama yang sempurna, telah mengatur segalanya, temasuk masalah cinta dengan begitu indah, sehingga tidak menjerumuskan kepada kebinasaan. Dalam Al-Quran, terdapat sosok suri tauladan yang sangat agung, yang mampu mengelola cintanya, dan dengan hal tersebut, beliau di muliakan oleh Allah. Dia adalah Nabiullah Yusuf 'Alaihissalam.



Dari sekian banyak kisah para Nabi yang tertera dalam Al-Quran, kisah Nabi Yusuf, merupakan kisah yang paling unik, sebab, kisahnya memiliki 'page' tersendiri. Mulai dari awal surat hingga akhirnya, mengisahkan perjalanan beliau. Hal ini tentu saja karena di dalam dirinya terdapat pelajaran-pelajarn yang sangat penting, yang harus kita ikuti. Dan diantaranya adalah tauladan cinta.



Beliau merupakan sosok yang sangat berpegang teguh dalam menjaga kesucian cinta. Dan itu dipertahankan, tidak hanya dalam kondisi sukar, dalam keadaan nyamanpun, prinsip ini, tetap dipegang erat-erat.



Penolakan terhadap bujuk rayu Zulaikha untuk melakukan perbuatan keji (zina), adalah bukti akan kekuatan beliau di dalam menjaga prisip, untuk tidak mencederai kemurnian cinta. Ia sadar apa yang akan dilakukannya ini merupakan perbuatan bejat yang dimurkai oleh Allah, dan yang akan membinasakannya. Pada akhirnya, sekuat apapun usaha Zulaikha untuk menundukkan hati Yusuf agar takluk di pangkuannya, gagal total, dan Yusuf terhindar dari dosa besar.



Ketika beliau telah diangkat menjadi bendahara negara yang menangani mesalah pangan, tidak serta-merta posisi tersebut menjadikan beliau tamak harta (sebelumnya beliau pernah menjadi budak).



Begitu pula, tatkala ada kesempatan untuk membalas perilaku kakak-kakaknya yang telah membuangnya ke dasar sumur, tidak beliau laksanakan, karena memang, cinta yang bersemayam di hati beliau, benar-benar cinta yang murni, yang lebih mencintai untuk memberi maaf, dari pada harus membalas, “Pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni kamu. Dan Dia Maha Penyayang di antara para penyayang.” (Yusuf: 92)



Inilah diantara kisah perjalanan cinta Nabi Yusuf, yang secara nyata telah mampu menghantarkan beliau ke posisi mulia. Firman Allah dalam Al-Quran, “Mereka berkata, “demi Allah, sungguh Allah telah melebihkan engkau (Yusuf) di atas kami, dan sesungguhnya kami adalah orang bersalah.” (Yusuf: 91)



Cinta yang Berkaromah



Dari ulasan di atas, bukan berarti Islam melarang umatnya untuk mencintai lawan jenisnya, ataupun harta yang mereka miliki. Justru sebaliknya, Al-Quran menjelaskan, bahwa memang telah dihiasi manusia itu keindahan berupa cinta tehdap istri, anak, harta dan lain-lain, “Dijadikan indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah dan ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik,” demikian Firma Allah dalam Al-Quran, surat Al-Imron, 14.



Pertanyaannya, bagaimana cara menghantarkan cinta, hingga mendatangkan karomah (pengaruh baik) bagi setiap pribadi yang sedang dirasuki olehnya, sebagaimana yang dialami oleh Nabi Yusuf?



Allah sebagai Penanganugerah cinta telah menjelaskan dalam Al-Quran, bahwa untuk mendapatkan hal tersebut, maka, orang itu harus memposisikan cinta sesuai dengan hirarkinya. Cinta memiliki hirarki, ketika cinta telah mengikuti jejak hirarki tersebut, maka, kemulyaan yang didasari oleh cintapun akan diperoleh.



Adapun hirarki pertama, dan itu harus menjadi landasan untuk mencintai hal-hal yang lainnya adalah cinta ke pada Allah. Allah sebagai pecipta manusia, yang telah menganugerahkan kepada mereka bumi dan apa yang ada di dalamnya, harus kita utamakan. Dan ketika hal tersebut kita lakukan, kita akan menuai akan manisnya iman. Sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rosulullah, ada tiga hal yang akan menjadikan seseorang mengecap manisnya iman, dan salah satu di antara tiga hal tersebut adalah, mencintai Allah di atas segalanya.



Mencintai Allah, menuntut kita untuk mencintai apa yang Ia cintai, dan membenci apa yang Ia benci, termasuk juga, dengan menjalankan apa yang diperintahkan oleh-Nya, dan menjauhi apa yang dilarang.



Hanya dengan inilah, kita bisa membuktikan akan ketulusan cinta kita kepada-Nya. Allah berfirman tentang hal ini, “Katakanlah (Muhammad), “jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Imran: 31).



Cinta model ini pula, yang telah menghantarkan Umar bin Khathab, menjadi sosok yang mulia, yang sebelumnya, merupakan sosok yang bengis. Al-kisah, pada suatu hari Rosulullah menanyai tentang besar cintanya terhadap beliau. Umar menjawab, “Aku mencintaimu ya Rosulullah melebihi cintaku kepada semua yang lain kecuali diriku sendiri”. Mendengar jawaban demikian, Rosulullah akhirnya menimpali, “Tidak wahai Umar! sampai aku lebih engkau cintai dari dirimu sendiri”



Ketika cinta telah mengikuti hirarki demikian, maka, cinta kita terhadap yang lainnya akan lurus. Cinta terhadap istri, anak-anak, keluarga, harta benda, jabatan, akan menjadi lurus kalau ia berada dalam ruang besar yang bernama cinta kepada Allah. Tidak akan ada cerita tentang penyelewengan cinta, yang dilakukan bani Adam, ketika cinta mereka telah menapaki jejak cinta yang telah ditetapkan oleh Allah. Sikap sami'na wa atha'na (kami dengar dan kami taati) terhadap apa yang telah menjadi ketetapan Allah dan Rosulnya (tanpa harus mendiskusikannya terlebih dahulu), juga menjadi cirri akan kemurnian cinta kepada Ilahi Rabbi.



Dan cinta tipe inilah yang telah diterapkan oleh Nabi Yusuf, sehingga beliau dikaruniai kemulyaan oleh Allah. simaklah jawaban beliau, ketika dibujuk rayu oleh Zulaikha, “Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukanku dengan baik….” (Yusuf: 23).



Kesimpulannya, untuk meraih karomah cinta, maka, kita harus memposisikan cinta sesuai dengan hirarki yang telah dipaparkan di atas. Mudah-mudahan Allah mencatat kita termasuk golongan orang-orang yang telah menapakkan cinta sesuai dengan apa yang telah dicontohkan oleh Yusuf 'Alaihi Wassalam. Wallahu'alam bis-shawab. [Robin Sah/hidayatullah.com]

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

Pengikut