ahmad hudori. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

USWAH - Pejabat, Fasilitas, dan Teladan Umar

Pejabat itu bertugas untuk mendahulukan kesejahteraan orang-orang yang dipimpinnya. Tapi, pada umumnya, itu tak terjadi di negeri ini. Adakah teladan yang bisa kita tiru?

Oleh M. Anwar Djaelani

Fasilitas! Sangat mungkin, aneka fasilitas menggiurkanlah yang mendorong banyak orang berlomba-lomba ingin menjadi pejabat (publik) di negeri ini. Lihat saja contoh “paling akhir”: baru bekerja sekitar dua bulan, para menteri (plus sejumlah pejabat tinggi lain) mendapat fasilitas mobil dinas baru yang disebut-sebut berharga Rp. 1,3 M.

Sebelum ini, dalam sebuah media, Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring menyatakan bahwa untuk simbol-simbol negara, menggunakan uang negara untuk membeli mobil (dinas) yang bagus semestinya tidak dipersoalkan. Lebih jauh, kata Tifatul, "Nggak ada masalah, toh uangnya ada kan?" Bahwa impor mobil itu dianggap bermasalah, dia mengaku tidak tahu. "Kalau itu tanya kepada Menteri Sekretaris Negara." (vivanews.com/ 4/1/2010).

Pernyataan Tifatul di atas sungguh memprihatinkan. Dia seolah-olah lupa dengan jargon yang sebelumnya sering dikampanyekannya: “Bersih dan Peduli”. Dia tampak acuh tak acuh dengan fakta bahwa mobil dinas Toyota Crown Royal Saloon yang sedang ramai  dibicarakan itu berharga sekitar Rp. 1,3 M. Dengan ringan dia bilang, "Nggak ada masalah”. Lupakah Tifatul pada data Badan Pusat Statistik yang menyebutkan jumlah penduduk miskin di Indonesia per Maret 2009 adalah 32,53 juta jiwa?

Para pejabat yang menerima mobil dinas itu layak untuk, pertama, menyimak penilaian Indonesia Corruption Watch (ICW) bahwa pembelian mobil dinas Rp 1,3 M melanggar Peraturan Menteri Keuangan (Menkeu) sehingga sudah sepantasnya pengadaan mobil itu dibatalkan. "Berdasarkan Peraturan Menkeu No 64/PMK.02/2008 tentang standar biaya umum APBN 2009 tertanggal 29 April 2008, jumlah anggaran maksimal untuk pengadaan mobil pejabat negara Rp 400 juta per unit. Jadi harus dibatalkan," kata Wakil Koordinator ICW Emerson Yuntho (www.detiknews.com 04/01/2010).

Kedua, merenungkan kalkulasi berikut ini. Menurut anggota Indonesia Budget Center, Roy Salam, sebenarnya dana pengadaan satu mobil itu, bisa digunakan untuk beasiswa bagi masyarakat. "Harga satu mobil itu dapat membiayai 2.300 siswa SMP selama satu tahun," ujar Roy (www.vivanews.com 31/12/2009).

Ketiga, perlu kiranya meniru langkah Wakil Ketua DPD Laode Ida yang mengembalikan mobil dinasnya Toyota Crown Royal Saloon ke pemerintah karena dinilai terlalu mewah  (www.detiknews.com 4/1/2010).

Dicari, Teladan

Negeri ini sangat memerlukan pemimpin yang bukan saja kapabel, tapi juga kredibel. Sebab, –sekarang dan ke depan- kita berada di sebuah dunia yang makin sarat tantangan. Hal yang demikian, jelas tak memadai jika negeri ini tak dikelola oleh rezim kredibel, yang didukung penuh oleh rakyat.

Kredibilitas terkait dengan –antara lain- keteladanan. Kredibilitas bergantung kepada satunya kata dan perbuatan. Sayang, justru di aspek ini, performa rata-rata pemimpin kita menyedihkan.

Negeri ini, miskin pemimpin berkategori teladan. Perhatikanlah, misalnya: Cukup sering pemimpin/pejabat meminta rakyat untuk berhemat, dan hal yang sama diinstruksikan pula kepada pejabat (di level yang lebih bawah). Misal, pernah ada seruan untuk menggunakan fasilitas negara secara proporsional. Tapi, ternyata, seruan ini tak disertai contoh yang memadai dari sang pemimpin/si penyeru.

Jika keteladanan tak bisa kita berikan, apa bedanya dengan situasi di ‘masa lalu’? Pemimpin bilang, dahulukan kepentingan rakyat! Tapi, ketika sang pemimpin punya kepentingan, rakyat terkorbankan oleh kepentingan dia. (Sekadar contoh ‘kecil’, pernah mobilitas keseharian rakyat terganggu, karena jalanan macet akibat resepsi yang diselenggarakan keluarga pejabat). Padahal, dalam perspektif agama (Islam), sungguh berat ancaman bagi orang tak sama antara perkataan dengan perbuatannya. “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan” (QS Ash-Shaff [61]: 2-3).

Kita butuh pemimpin kredibel, yang memiliki rasa malu jika berbuat salah, dan tak malu mengaku salah jika memang salah. Dalam perspektif Islam, rasa malu dan iman ibarat dua sisi dari sebuah mata uang. Jika salah satu tak ada, maka ikut lenyap pula-lah yang satunya. Kita malu, jika ucapan kita tak sama dengan perilaku kita. Pemerintah berjanji memberantas korupsi, tapi rakyat tak menemukan cukup bukti.

Sungguh tak bermanfaat semua pembangunan itu, jika di dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemanfaatannya, melupakan aspek pencapaian kesejahteraan rakyat. Sungguh, kita zalim, jika dalam pembangunan itu, kita menghambur-hamburkan uang negara. Kita sewenang-wenang, jika atas nama pembangunan, mengerjakan sesuatu sekadar menyenangkan segelintir pejabat saja, dan sama sekali mengabaikan usaha-usaha pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. Ketahuilah, itu membelakangi amanat.

Sebagai “gugatan” terakhir, kapan pemimpin/pejabat kita berhenti memikirkan dirinya sendiri dan lalu lebih sigap memikirkan kesejahteraan rakyatnya?

Tak perlu “gugatan” di atas dijawab secara reaktif. Cukup kiranya, jika kita mengajak nurani kita masing-masing untuk memandu agar dapat ‘menghayati’ sekumpulan jeritan hati tersebut.

Cermin Umar

Bagi siapapun, bercermin ke orang shalih sangat dianjurkan. Khusus bagi para pemimpin/pejabat, dalam hal sosok pemimpin/pejabat yang amanah, maka Khalifah Umar bin Abdul Aziz RA adalah salah satu contoh terbaik yang patut diteladani. Mengapa?

Umar bin Abdul Aziz RA mewarisi darah dan tipologi Khalifah Umar bin Khaththab RA.  Sebagaimana Umar bin Khaththab RA, sang cicit –yaitu Umar bin Abdul Aziz RA- adalah seorang pemimpin yang berpegang teguh pada amanah.

Dia memangku jabatan khalifah (sebuah jabatan yang sesungguhnya jika bisa, dia tak ingin mendudukinya) dalam usia relatif muda, 35 tahun. Keadilan dan kebijaksanaan dari pemimpin yang disebut-sebut sebagai Khulafaur Rasyidin kelima ini terasakan oleh rakyat secara menyeluruh. Keshalihannya sebagai seorang pemimpin/pejabat pantas diteladani.           

Sejarah bersaksi atas langkah dia dalam mewujudkan pemerintahan (baru) yang bersih. Gebrakan pertamanya, adalah mengembalikan semua harta dan atau tanah rakyat yang diambil oleh pemerintahan (Bani Umayyah) sebelumnya, yang diambil melalui tekanan kekuasaan kepada para pemiliknya. Jika pemilik tanah dan atau harta sudah tidak diketahui lagi, maka tanah harta dan atau harta itu dikembalikan kepada Baitul Maal (Kas Negara), untuk digunakan bagi keperluan kaum muslimin.

Jika di era sebelum Umar bin Abdul Aziz RA, para pejabat kerap mendahulukan kepentingan pribadinya saat menjalankan tugas, maka Umar bin Abdul Aziz RA memperagakan hal yang sebaliknya. Implikasinya, di era Umar bin Abdul Aziz RA tidak ada kepentingan rakyat yang tidak diurus dengan baik, tidak ada kebutuhan rakyat yang tak terpenuhi.

Pemimpin seperti Umar bin Abdul Aziz RA adalah tipe pejabat yang yakin bahwa jabatan adalah amanah yang bakal dimintai pertangungjawaban kelak di “Hari ketika mulut terkunci, tapi tangan dan kaki berbicara dan bersaksi”.

Umar bin Abdul Aziz RA memberi contoh dengan cara memulai apapun dari dirinya sendiri. Lihatlah! Dia yang sebelumnya dikenal kaya raya yang antara lain ditandai dengan dimilikinya sejumlah rumah yang sangat bagus, kuda-kuda pilihan, baju-baju kualitas terbaik dan lengkap dengan minyak wangi kelas terpilih, serta dengan penghasilan tahunan 40.000 dinar. Tapi, ketika prosesi pelantikan khalihah, dia ubah semua model upacara yang menyedot uang rakyat. Dia tolak fasilitas mewah yang selama ini biasa diperoleh pejabat sebelumnya. Bahkan, begitu dia dilantik sebagai khalihah, dia langsug menyerahkan seluruh harta yang dimilikinya, ke Kas Negara.

Langkah terpuji itu diikuti serempak oleh para pejabat sehingga dengan gerakan yang dia lakukan, dalam tempo sekitar dua tahun, krisis ekonomi yang terjadi pada pemerintahan sebelumnya bisa diatasi. Lebih dari itu, distribusi kekayaan sedemikian merata sehingga tidak ada rakyat yang berstatus mustahiq lantaran tergolong fakir atau miskin. Pengentasan kemiskinan yang dia lakukan bukan sekadar retorika, karena memang benar-benar terjadi gerakan ekonomi pro-rakyat, yang dimulai dari ‘kalangan atas’ secara nyata.

Secara khusus, mari kita saksikan keteladanan Umar bin Abdul Aziz RA dalam memegang amanah. Suatu hari, datanglah seorang utusan dari salah satu daerah menemuinya. Utusan itu sampai di rumah Umar bin Abdul Aziz RA saat malam menjelang. Setelah mengetuk pintu, seorang penjaga menyambutnya. Utusan itu mengatakan, “Beritahu khalifah -Amirul Mukminin- bahwa yang datang adalah utusan gubernurnya.”

Penjaga itu masuk memberitahu Umar bin Abdul Aziz RA yang akan berangkat tidur. Umar bin Abdul Aziz RA-pun berkata, “Izinkan dia masuk”. Utusan itu masuk, dan Umar bin Abdul Aziz RA meminta menyalakan lilin besar. Umar bin Abdul Aziz RA bertanya kepada utusan tersebut tentang keadaan penduduk secara umum di wilayahnya, keadaan kaum muslimin, bagaimana perilaku gubernur, situasi harga-harga, masalah anak-anak, perihal pendidikan, dan hal-hal lain terkait persoalan umat. Apakah hak umat sudah ditunaikan? Apakah ada yang mengadukan hak-haknya yang tak ditunaikan?

Utusan itu pun menyampaikan segala yang diketahuinya tentang wilayahnya kepada Umar bin Abdul Aziz RA. Tak ada sesuatupun yang disembunyikannya. Semua pertanyaan Umar dijawab lengkap.

Utusan itu lalu balik bertanya, “Yaa Amirul Mukminin, bagaimana keadaanmu, keluargamu, seluruh pegawai, dan orang-orang yang menjadi tanggung jawabmu?

Mendapat pertanyaan seperti itu, Umar bin Abdul Aziz RA pun serta merta meniup lilin besar dan berkata kepada pembantunya, “Tolong nyalakan lampu kecil.” Lalu dinyalakanlah sebuah lampu kecil yang hampir-hampir tidak bisa menerangi ruangan karena cahayanya yang temaram. Umar bin Abdul Aziz RA lalu menjelaskan tentang keadaan dirinya, anak-anaknya, istrinya, dan keluarganya.

Rupanya, utusan itu sangat tertarik dengan ‘aksi’ yang telah dilakukan Umar bin Abdul Aziz RA, yaitu mematikan lilin besar. Dia bertanya, “Yaa Amirul Mukminin, saya melihat Anda melakukan sesuatu yang menarik." Umar bin Abdul Aziz RA paham dengan arah pernyataan sang tamu.

Umar bin Abdul Aziz RA berkata, “Wahai hamba Allah, lilin besar yang saya matikan itu adalah dibiayai Kas Negara. Jadi itu harta Allah, harta kaum muslimin. Ketika saya bertanya kepadamu tentang urusan warga di wilayah Anda, maka lilin besar itu patut dinyalakan karena untuk kemaslahatan umat. Tapi, begitu Anda membelokkan pembicaraan ke seputar pribadi saya, maka saya pun mematikan lilin besar yang dibeli dengan uang Kas Negara, dan menggantinya dengan lampu kecil milik saya”.

Subhanallah, benar-benar mengagumkan! Sedemikian besar kesungguhan Umar bin Abdul Aziz RA dalam menjaga amanah, termasuk menjaga Kas Negara.

Patut Ditiru

Kini, tugas kita adalah mematut-matut diri, sudahkah kita –terutama para pemimpin/pejabat- sedemikian hati-hati dalam menggunakan harta kekayaan rakyat?

Mari, berusaha untuk bisa meniru apa-apa yang telah diteladankan oleh Umar bin Abdul Aziz RA, cicit Umar bin Khaththab RA. [www.hidayatullah.com]

Penulis adalah dosen STAIL Pesantren Hidayatullah Surabaya
 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

Pengikut